Aku adalah gaun biru dengan garis ungu yang elegan. Dipajang di bibir toko dengan price tertinggi dan menjadi dambaan setiap wanita untuk memakainya. Sampai seseorang tersenyum memandangku takjub. Kau menyukaiku nona? Benar saja, kau membeliku tanpa fikir panjang. Aku memiliki majikan.
Lily, begitu orang biasa memanggil namanya. Gadis remaja polos dengan sejuta muslihat, umurnya baru menginjak 16 tahun, tapi kehidupannya yang selalu terkesan glamour membuatnya seperti nyonya besar saja. Ah, wajar.. dia kan kaya.. Aku dibelinya hanya untuk dipakai dalam sehari—ah hanya beberapa jam saja. Setelah itu aku hanya menjadi lap pajangan di gudang, miris rasanya. Astgfirulloh ya Alloh, tanpa sadar hamba telah mengumpat.
“Hai.. apa kau gaun mahal? Siapa namamu?” sapa seongok jaket merah muda di sebelahku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum—membalas senyumnya. Karena aku bingung harus menjawab apa. Aku memang gaun mahal, tapi aku tak memiliki nama, aku hanya ‘gaun’.. ya gaun, sebuah pakaian yang semestinya dipakai indah oleh seseorang.
“Hai, apa kau bisu?” tanya serempak sepasang sepatu di depanku. “Ah, tidak” ucapku merasa tidak enak, padahal aku tidak sombong kok! Sungguh! “Kita di sini menunggu apa ya.. em, aku ingin segera dikenakan indah oleh pemilikku..” Akhirnya aku membuka percakapan.
Kulihat mereka diam, tak ada yang menyahut, hanya saling pandang yang akupun tak mengerti arti dari setiap gerik diam mereka. “Ini gudang, kita sudah dibuang. Maksudku tidak akan pernah dikenakan lagi” Penuturan tuan dasi barusan membuatku membisu. Kenapa? Bukankah aku masih bagus, masih baru, mahal pula. Aku adalah gaun yang paling didambakan para gadis dengan desain keindahanku. “Kenapa? Aku masih bagus, dan kalian juga?” tanyaku sewaktu aku baru menyadari tak kulihat satupun barang kusut ataupun sudah tak layak pakai di tempat yang disebut gudang ini.
Mereka kembali terdiam, seperti merasa iba akan keberadaanku yang belum mengerti apa-apa. “Kau sudah mengenal Lily? Dia gadis glamour yang hidup dari keluarga berkecukupan, dia hanya mengenakan pakaian yang saat itu dia sukai.. kalau pun sudah tidak suka, dia tidak akan kesulitan untuk membelinya lagi.. ah, astagfirulloh.. apa yang aku katakan..” tutur sebuah arloji tangan yang langsung beristigfar menyadari perkataanya sama saja dengan menggunjing. Aku sekarang mengerti semuanya. Ya Alloh maafkan aku, bukannya aku ingkar akan takdirku, tapi bagaiman bisa aku berterimakasih padaMu jika kegunaankupun sangat nihil hanya dipakai sekali saja.. Ya Alloh, biarkan aku selalu bertasbih padaMu apapun yang terjadi. Amiin..
Meaw.. meaw..
Ups! Apa ini? Tubuhku melayang terayun-ayun kesana kemari, rupanya seekor kucing tengah menggigitku dan membawaku lari dari teman-temanku yang hampir saja aku merasa dekat dengan mereka. Tapi tak apa, aku akan mengikuti apapun takdirku dariMu ya Alloh.
Puk! Astagfirulloh,, tubuhku dijatuhkan si kucing di atas tumpukan tempat sampah yang tentu saja bau dan menjijikan, sampai sebuah truk sampah kembali membawaku ke tempat tumpukan sampah yang lebih banyak jumlahnya.
“Ah, indahnya..” Kulihat seorang bocah kumuh menghampiriku dan membawaku. Aku dicuci dan dilipatnya penuh kasih sayang. “Indah sekali..” puji bocah itu berkali-kali mengagumiku.
Bocah itu kemudian berjalan mendekati seorang gadis lusuh yang tengah menangis. “Rahma kenapa?” tanya bocah. “T-tidak apa-apa abang..” jawab gadis kecil yang bernama Rahma itu. “Ini!” Aku disodorkan, mungkin hendak dialihtangankan kepada Rahma? Benar saja, karena..
“Eh, ini punya siapa bang?” tanya gadis bernama Rahma itu polos. “Ini jilbab baru buat Rahma pergi mengaji. Ayo pakai, Rahma pasti cantik deh memakainya!” jawab si bocah yang ternyata kakaknya.
Aku tercengang. Jilbab? Aku kan gaun. Ya Alloh, apakah barusan takdirku beralih fungsi menjadi jilbab? Aku ingin sekali menitikan airmata bahagia jika saja aku memiliki kelenjar air mata. Terimakasih atas semua anugerahMu padaku ya Alloh..
Rahma mengambil dan membelaiku lembut, dia tersenyum, berlari dan langsung memakaiku. “Subhanalloh..” puji Rahma saat mendapati sosok cantiknya di cermin dengan gaun biru meski sangat kebesaran untuk ukuran tubuhnya yang masih kecil. “Abaang jilbabnya kebesaran!” lengking Rahma dari dalam gubuk rumah kardus. “Astagfirulloh Rahma, sejak kapan Rahma suka memakai baju kecil? Abang tidak pernah mengajarkan Rahma begitu..” nasihat si bocah saat mendengar Rahma adiknya berkata begitu.
Rahma terdiam, merasa malu akan perkataanya berusan. “Maaf abang. Tapi maksud Rahma, Rahma kesulitan berjalan dengan jilbab ini..” Rahma melihat abangnya tersenyum, lalu dia pun tersenyum manis, “Tapi tidak apa-apa abang, Rahma beneran suka kok!” tambah Rahma.
Si bocah masih tersenyum. “Abang punya peniti, sini biar abang lipat jilbab Rahma..” Bocah itu pun mendekat dan memasang peniti di setiap tubuhku yang menjuntai ke tanah. “Terimakasih abang!”
Rahma mendekap Al-Quran dan beberapa buku lusuh. “Asalamualaikum abang. Rahma janji akan jadi adik yang baik buat abang dan jilbaber pembela Islam yang gagah!” teriak Rahma sambil berlari bersama teman-temannya hendak pergi mengaji.
Teng..
Teng.. teng..
Priiiittttt!!!!!
Aku oleng bersama gadis kecil bernama Rahma itu, warna biru mudaku mulai ternoda dengan warna merah kental. Rahma terlindas kereta kota yang lewat. Aku terhenyak, meski aku hanya barang—benda mati, tapi subhanalloh.. aku bisa mencium aroma darah Rahma dengan jelas, begitu wangi.. Apakah ini bau surga Ya Alloh? Apakah ini balasan dariMu untuk hambaMu yang bibirnya selalu basah memuji namaMu? Subhanalloh.. AllohuAkbar!
Author by : Hana Kanzaki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar